Sabtu, 27 Maret 2010

PENDIDIKAN DAN BUDAYA

PENDIDIKAN DAN BUDAYA
Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah sosiologi pendidikan
Dosen pengampu: DR. Istiningsih M.PD







Disusun Oleh :

Muhammad Ghozali
(nim 07410252 / kelas pai F)




PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Merujuk pada Wikipedia, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” sebagai bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, culture (berasal dari kata Latin Colere) berarti mengolah atau mengerjakan, yang kemudian diindonesiakan menjadi “kultur”.Dalam pandangan J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yakni gagasan (kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh), aktivitas (sering pula disebut dengan sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan tata kelakuan), dan artefak (wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan).Berdasarkan wujudnya, kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua komponen utama. Pertama, kebudayaan material (mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, seperti temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci). Kedua, kebudayaan nonmaterial (ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional).
Merujuk pada pengertian tersebut, kebudayaan memiliki batasan yang cukup luas dan kompleks. Budaya tak hanya sebatas berkaitan dengan benda-benda “bersejarah” yang biasa dijual melalui paket pariwisata, tetapi yang tidak kalah penting justru yang berkaitan dengan pewarisan nilai-nilai luhur, termasuk nilai-nilai kearifan lokal, yang perlu terus dikembangkan dan dikemas secara kontinyu dan berkelanjutan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah peradaban sebuah bangsa. Jika upaya pewarisan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal itu terputus, maka yang terjadi kemudian adalah sebuah “kebiadaban budaya” yang akan menghancurkan masa depan sebuah bangsa dalam mempertahankan eksistensinya sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat di tengah-tengah peradaban global dan mondial.
Namun, agaknya pemerintah kita cenderung memandang kebudayaan dari sisi ekonomi alias kebudayaan material an-sich yang ingin menjadikan budaya sebagai salah satu “ikon” pariwisata yang bisa mengalirkan devisa. Langkah semacam itu tidak salah, tetapi jika pewarisan dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal itu sudah berada pada titik nazir “pembiadaban budaya”, jangan salahkan jika kelak generasi masa depan negeri ini akan makin kehilangan kesejatian diri dan orientasi kulturalnya.

B. PENDIDIKAN DAN BUDAYA
Theodore Brameld dalam karyanya “Cultural Foundation of Education” (1957)
menyatakan adanya keterkaitan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, dalam hal ini ialah pengembangan nilai. Sementara itu Edward B. Tylor dalam karyanya "Primitive Culture" (1929) menulis apabila kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process) , serta bervisi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Masih menurut Tylor, tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas kita bisa memposisi pendidikan dengan kebudayaan di dalam tata hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal relationship); atau pendidikan merupakan variabel yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan di dalam tata hubungan asimetris di mana suatu variabel mempengaruhi variabel yang lainnya (causal asymetrical relationship) .
Komaruddin Hidayat mengungkapkan, pendidikan merupakan upaya sadar untuk mengubah kebudayaan masyarakat sehingga meningkatkan peradaban. ”Pendidikan masuk ke ranah kebudayaan dan tidak terhenti pada ranah kelas serta Departemen Pendidikan Nasional,”
Dia berpandangan, pendidikan kewarganegaraan menjadi sangat penting. Dalam konteks Indonesia, pendidikan kewarganegaraan itu berisi, antara lain, mengenai pluralisme, yakni sikap menghargai keragaman, pembelajaran kolaboratif, dan kreativitas. Pendidikan itu mengajarkan nilai-nilai kewarganegaraan dalam kerangka identitas nasional.
”Tanpa pendidikan kewarganegaraan yang tepat, akan lahir masyarakat egois. Pluralisme bukan anugerah, justru menjadi sumber konflik,” ujarnya
Sedangkan menurut Tjetje, "Seni dan sastra (Sunda) wajib diajarkan kepada siswa." Lemahnya nilai budaya lokal membuat masyarakat Indonesia menjadi orang lain. Padahal, suatu bangsa dapat maju jika masyarakatnya menjunjung tinggi budaya lokal. Penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia, kata Tjetje, adalah dengan kembali ke jati diri sendiri. "Setidaknya, pendidikan mengandung unsur logika, etika dan estetika. Sayangnya, anak didik kita lebih banyak menyerap logika, sedangkan etika dan estetika terabaikan
Namaun sekarang ini pendidikan yang seharusnya diposisikan sebagai “domain” strategis untuk mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya, disadari atau tidak, telah dikebiri. Perannya telah tergantikan oleh pemikiran para birokrat pariwisata dan kaum kapitalis yang melulu ingin “hidup” dari produk budaya yang telah berabad-abad lamanya menjadi penyangga martabat bangsa.
Pendidikan yang diselenggarakan selama ini masih terpisah dari budaya dan belum bermakna sebagai proses transformasi budaya menuju mantapnya kehidupan berbangsa. Pendidikan nasional saat ini baru sebatas menekankan pada kecerdasan akal.
Pendidikan gagal menyiapkan generasi muda yang berkemampuan tinggi dan memiliki nilai-nilai budaya yang diperlukan bagi kehidupan negara Indonesia yang modern.Untuk mewujudkan bangsa yang cerdas dan maju kebudayaan nasionalnya, sekolah sebagai perwujudan sistem pendidikan nasional harus berperan sebagai pusat pembudayaan.Pendidikan saat ini hanya menekankan the culture of survival, belum the culture of liberation, yakni pendidikan untuk memberdayakan dan memerdekakan. Ini terlihat, antara lain, dari terlalu besarnya penekanan terhadap aspek kognitif, seperti terlihat dalam penyelenggaraan ujian nasional dan olimpiade- olimpiade
Jika kita melihat unas pasti dalam benak kita yang pertama muncul adalah les privat, menyiasati rumus-rumus yang panjang, try out, menyontek, mencuri dan menggondol soal Unas, bocoran soal Unas,polisi, lulus-tidak lulus dan kisruh. Semua yang tersebut adalah gambaran-gambaran pendidikan kita. Gambaran-ganbaran out put generasi bangsa kita, bangsa Indonesia. Dikuatkan lagi dengan beberapa kericuhan yang terjadi pada waktu pra Unas maupun pada hari pelaksanaan Unas
Lantas yang menjadi tanda tanya besar bagi kita adalah "Apa yang salah?" sehingga setiap pelaksanaan Unas selalu ada catatan hitam kecurangan dan kericuhan di dalamnya. Jika kita analisa setidak-tidaknya terdapat empat penyebab ketidakberesan dalam menyambut dan pelaksanaan serta pasca Unas ini yang kesemuanya bersumber dari budaya kita sendiri.
Pertama, kurangnya kita dalam menghargai sebuah proses. Dengan maraknya les privat menyebabkan para siswa lebih menanggungkan pelajarannya pada les tersebut. Sehingga mereka sering menyepelekan proses belajar di sekolah selama tiga tahun. Tak jarang juga para guru privat mengajarkan pada siswa penyiasata rumus-rumus yang panjang hingga menjadi pendek dan mudah tanpa mengajarkan alur rumus sebenarnya. Hal ini menjadikan siswa lebih senang mengerjakan sesuatu dengan instan tanpa berusaha dan berkerja keras yang berpengaruh pada masa dewasa kelak. Dan yang lebih parah lagi metode kebut Unas ini menjadikan ilmu yang ada pada siswa tidak akan bertahan lama, alias mudah lupa. Sedangkan bencana penuntut ilmu adalah lupa.
Kedua, kita lebih bangga dengan style dan gengsi daripada skill. Dengan adanya kasus-kasus pencurian dan pembocoran soal Unas yang dimaksudkan untuk meluluskan para peserta didik sehingga sekolah tersebut menjadi ternama dan terkenal dengan kualitasnya tanpa ada feedback yang bagus dalam esensinya, maka sekolah tersebut tak beda dengan tong kosong. Dengan kata lain, terjadai pembodohan pada siswa, wali murid, serta birokrasi sekolah oleh nama sekolah yang mencuat tinggi.
Ketiga, kita selalu tidak mau mengakui kelemahan dan kekurangan kita.Salah satu tujuan diadakannya ujian bagi para siswa adalah sebagai ukuran dari apa yang sudah dikuasai, dan apa yang belum dikuasai dari pelajaran yang mereka dapatkan. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam ujian pasti ada kecurangan-kecurangan untuk memberi persepsi pada orang lain bahwa mereka pandai. Tidak mngakui kekurangan yang ada pada diri mereka sangat penting sekali untuk berinstropeksi diri, guna membangun masa depan cerah. Kelemahan-kelemahan kita saja tidak tahu dan tidak mau tahu, bagaimana kita akan melangkah kedepan yang penuh dengan halangan merintang?.
Keempat, masih lemahnya pendidikan kita. Meski standarisasi nilai ujian nasional masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara lain tapi masih saja ada kecurangan untuk mencapai standarisasi tersebut.
Keempat kebudayaan buruk kita diatas adalah sumber pemicu kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dikalangan civitas akademik seluruh lembaga-lembaga pendidikan. Entah itu pada tingkat sekolah maupun universitas.
Betapapun sulit merubah kebudayaan, tapi setidaknya kita bisa menekannya hingga seminimal mungkin, misalnya dengan undang-undang tertentu yang cukup memberatkan tapi lumayan menyembuhkan. Dengan sanksi-sanksi yang berat, contoh barang siapa yang berusaha merusak kerahasiaan soal unas maka ia dipenjara bukan hanya lima tahun tapi 10 tahun penjara.
Adapun danpak dari ditinggalkannya budaya sendiri antaralain:
1. Jangan salahkan jika anak ataupun cucu kita tidak mengenal budaya sendiri, karena secara tidak langsung memang dikondisikan untuk tidak kenal.
2. Akan banyak kendala yang dihadapi karena pola pikir yang ditanamkan hanya yang bersifat logis, sehingga sumber daya manusia menjadi tidak peka terhadap rasa.
3. Kita akan menjadi orang asing di negeri kita sendiri karena kita tidak cukup tahu seluk beluk negeri kita yang beragam budaya.
4. Secara langsung ataupun tidak kita telah kembali dijajah dalam bentuk yang lain.
5. Kurangnya sifat kemandirian untuk mengusung negeri ini kearah sejahtera.
Simpulan di atas harus ditindaklanjuti secara seksama sebelum laju negeri ini berputar halauan dan tidak akan pernah sampai tujuan.
Seperti telah disebutkan diatas untuk mengatasi hal yang demikian sebaiknya pendidikan kita harus dikembalikan kepada pendidikan kebudayaan sendiri yang bersumber dari hati nurani yang tidak hanya menonjolkan kognitif namun juga etika dan estetika

1.http://sawali.info/2008/02/10/perceraian-antara-budaya-dan-pendidikan-tanya-kenapa/
2.http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Sistim%20Pendidikan%20Nasional%20-%20ki%20supriyono.pdf
3.http://www.penapendidikan.com/pendidikan-terpisah-dari-budaya/
4.http://www.rianto.com/public/transformasi.pdf





DAFTAR PUSTAKA
- http://www.penapendidikan.com/pendidikan-terpisah-dari-budaya/
- http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Sistim%20Pendidikan%20Nasional%20-%20ki%20supriyono.pdf
- http://sawali.info/2008/02/10/perceraian-antara-budaya-dan-pendidikan-tanya-kenapa/
- http://www.rianto.com/public/transformasi.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar