Sabtu, 27 Maret 2010

TOKOH TOKOH DALAM DUNIA PENDIDIKAN

TOKOH TOKOH DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Resume ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen pengampu: Bu Istiningsih






Disusn oleh:
Muhammad ghozali
Nim/ Kelas: : 0741252/pai 6




PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010


A. Al-Farabi

a.Sekilas tentang al farabi
Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi atau yang biasa dikenal dengan al-Farabi lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.
Setelah menyelesaikan studi dasarnya, al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.
Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.
Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.
Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.
b. Konsep Pendidikan Manusia Sempurna menurut Al-Farabi,
Dalam pandangan Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya, membimbing individu untuk menuju kesempurnaan.
manusia diciptakan guna mencapai kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan tertinggi adalah kebahagiaan. Menurut Al-Farabi, manusia yang sempurna adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.

Pendidikan, menurut Al-Farabi, harus menggabungkan antara kemampuan teoretis dari belajar yang diaplikasikan dengan tindakan praktis. Kesempurnaan manusia, kata dia, terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan mempunyai arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan dalam masyarakat. Jika tidak diterapkan maka ilmu itu tak berguna. Singkatnya, kata Al-Farabi, seseorang menjadi sempurna jika ia mempraktikkan ilmunya dalam tataran praktis. Lebih lanjut Al-Farabi menyatakan, saat kebajikan teoretis dan moral berpadu dengan kekuasaan, lahirlah penghargaan masyarakat kepada individu itu. Saat kaum terpelajar mengambil tanggung jawab kepemimpinan politik, ia yakin mereka bisa menjadi panutan.Sebab, kaum terpelajar memiliki kebajikan teoretis dan moral praktis. Menurut Al-Farabi, mereka menyatukan nilai-nilai moral dan estetika dalam menjalankan kepemimpinan politiknya. Kondisi dan perilaku seperti itulah yang mestinya dimiliki kaum terpelajar dan intelektual. Dengan pandangannya yang seperti itu, Al-Farabi menekankan terwujudnya suatu kesempurnaan dalam ranah pendidikan. Yaitu, meleburnya pengetahuan intelektual dan perilaku yang saleh. Saat pemimpin politik tak berada di tangan kaum terpelajar, maka akan lahir bahaya besar.
Ini sangat beralasan, kata Al-Farabi, sebab seorang pemimpin tentu harus menjalankan kepemimpinannya dengan benar. Jadi, pendidikan itu sama seperti tubuh membutuhkan makanan dan kapal harus memiliki kapten. Menurut Al-Farabi, para pemimpin politik harus memiliki keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu wilayah yang dipimpinnya. Tapi, kerja para pemimpin politik mestinya tak terbatas pada organisasi dan manajemen wilayah. Mereka harus mampu mendorong orang saling membantu dalam kebajikan dan mengatasi kejahatan. Tak hanya itu, jelas Al-Farabi, mereka juga harus menggunakan keahlian politiknya untuk melindungi praktik kebajikan. Jadi, wilayah yang dipimpinnya sarat kebajikan.

Al-Farabi mengungkapkan, di antara karakteristik pemimpin politik yang harus ada adalah mampu dimintai pendapat. Dengan kata lain mereka mempunyai kapasitas intelektual untuk memberi solusi yang adil dan bijak.Tingkat keamanan suatu wilayah, menjadi cerminan keseimbangan moral. Ketika perilaku moral masyarakat menurun, kenyamanan wilayah itu mengalami gangguan. Jadi, jelas Al-Farabi, terciptanya moral yang baik juga merupakan bagian mendasar dari penyelenggaraan pendidikan
.
Al-Farabi menyimpulkan, pendidikan yang berhasil sangat berkorelasi dengan kondisi moral yang baik. Terkait soal moral ini, ia mendefenisikan moral sebagai keadaan pikiran tempat manusia melakukan perbuatan yang baik. Juga, memiliki sifat etis atau rasional.

Selain mengaitkan pendidikan dengan kepemimpinan politik dan kondisi moral masyarakat, Al-Farabi juga menegaskan pembuatan hukum pun memiliki kaitan erat dengan pendidikan. Ia menilai bahwa pembuat hukum juga bisa dianggap sebagai penguasa.

Terkait masalah hukum, Al-Farabi mengatakan, hukum harus mempunyai fungsi pendidikan. Artinya, pembuat hukum harus taat hukum. Dengan demikian, menaati hukum bukan hanya diwajibkan kepada masyarakat baik awam maupun intelektual.Di sisi lain, pembuat hukum juga mestinya merupakan figur-figur yang memiliki moral terpuji. Menurut Al-Farabi, pembuat hukum harus terikat dengan hukum yang dibuatnya, sebelum mereka mengharapkan orang lain menaati dan menjalankan hukum yang dibuatnya itu.

Masyarakat, jelas Al-Farabi, tak akan mengikuti hukum jika para pembuat hukum sendiri mengabaikannya. Singkatnya, hukum memiliki fungsi pendidikan karena mengarah pada upaya penanaman kebajikan di dalam masyarakat.Untuk tujuan itu, ungkap Al-Farabi, para pembuat hukum harus telah mendapatkan pelatihan sejak dini dalam urusan negara dan tujuan pembuatan hukum harus sesuai ketentuan Allah SWT. Menurut dia, para nabi merupakan perintis praktik hukum.

Sedangkan fungsi khalifah, jelas Al-Farabi, adalah memainkan peran pendidik yang sebelumnya dilakukan oleh para nabi. Dalam pemikirannya tentang pendidikan, ia pun menekankan agar kaum terpelajar tak hanya berdiam di menara gading.Mestinya, mereka tak terbuai oleh pemikiran-pemikiran yang tak membumi. Menurut Al-Farabi, mereka mestinya mampu mengamalkan segala hasil pemikirannya untuk memecahkan masalah dan mewujudkan kemajuan bagi masyarakatnya, di tempat mereka tinggal dan hidup.

Tak heran jika Al-Farabi menyatakan, kesempurnaan teoretis dan praktik dari pengetahuan yang dimiliki seseorang hanya bisa diperoleh dalam masyarakat. Sebab, kehidupan di suatu masyarakatlah yang bisa membuat seseorang mempraktikkan ilmunya.Bila kaum terpelajar memutus sama sekali kaitan dengan masyarakat dan berada di luar mereka, ujar Al-Farabi, maka kemungkinan mereka hanya belajar untuk menjadi sosok yang liar tanpa kendali. Dalam konteks ini, ia ingin mewujudkan masyarakat ideal melalui pendidikan.Al-Farabi memasukkan pula seni sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan dalam proses pendidikan. Ia menilai, kesempurnaan dalam teori dan praktik seni merupakan salah satu ekspresi kebijaksanaan. Sebab, ungkap Al-Farabi, orang bijak adalah mereka yang sangat mahir dalam bidang seni dan mencapai kesempurnaan di dalamnya. Ia menambahkan, pendidikan juga harus mampu menggali bakat alami yang dimiliki seseorang.

Optimalisasi indera juga mendapatkan perhatian Al-Farabi. Bukan tanpa alasan ia mengatakan hal demikian. Menurut Al-Farabi, indera merupakan perangkat awal menangkap ilmu pengetahuan. Lalu, pengetahuan itu diubah menjadi konsepsi intelektual melalui imajinasi.Menurut Al-Farabi, jiwa memahami apa pun yang mengandung unsur imajinasi. Ia menjelaskan, meski indera berkaitan dengan pengetahuan, namun indera hanya salah satu instrumen untuk menyerap pengetahuan. Akal manusialah yang memiliki potensi pemahaman.

Bagi Al-Farabi, pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu. Tanpa pendidikan, seseorang tak dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup. Dengan demikian, pendidikan harus tersedia bagi semua orang tanpa memandang strata sosial mereka.

Namun, metode pengajaran dalam pendidikan harus disesuaikan menurut kelompok tertentu. Al-Farabi mengatakan, ada dua metode dasar pendidikan. Pertama adalah metode yang disesuaikan untuk rakyat biasa dengan langkah persuasif. Menurut Al-Farabi, metode persuasi merupakan metode membujuk pendengar dengan hal-hal yang logis dan memuaskan pikirannya tanpa mencapai kepastian. Bujukan akan tercapai ketika pendengar melakukan hal-hal yang dia yakini adalah benar.Dalam praktiknya, metode persuasif dapat dilakukan melalui pidato dan kegiatan bersama-sama antara guru dan murid. Metode persuasif cocok untuk mengajarkan mata pelajaran seni dan kerajinan.

Sedangkan, metode kedua adalah demonstratif. Pengajaran dengan metode kedua ini dapat dilakukan melalui pidato. Dengan metode ini, jelas Al-Farabi, guru berpidato untuk menerangkan mata pelajaran yang diajarkannya, seperti mengajarkan teori-teori tentang kebajikan dalam masyarakat.

Selain itu, Al-Farabi juga mengikuti model yang pernah diajarkan oleh filsuf Yunani, Plato. Ia menggunakan metode dialog atau perdebatan. Ia menekankan pula pentingnya diskusi dan dialog dalam pengajaran. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan dua hal baru, yaitu argumen dan wacana.

Metode wacana dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang suatu hal. Lalu, orang-orang akan didorong untuk memecahkan masalah ilmiah tersebut. Sedangkan, metode argumen digunakan untuk memenangkan debat atas lawan bicara.Bahkan, metode ini juga bertujuan agar lawan bicara memercayai gagasan yang sebelumnya mereka tolak. Al-Farabi mengungkapkan, metode argumen cocok untuk mengajar orang-orang yang keras kepala. Untuk mengajar masyarakat umum, sebaiknya gunakan metode yang paling dipahami. Al-Farabi menuliskan semua metode pengajaran tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Alfaz.

B. Mohammad Natsir
a. Biografi Mohammad Natsir
Mohammad Natsir berasal dari Tanah Minang. Ia lahir pada tanggal 17 Juli 1908, di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Orangtuanya adalah pasangan Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Setelah menikah Natsir mendapat gelar “Datuk Sinaro Panjang”.
Masa kecilnya dihabiskan di beberapa tempat. Awalnya di Maninjau bersama keluarganya. Kemudian ia tinggal di Padang bersama makciknya beberapa bulan. Setelah itu kembali ikut keluarganya yang pindah ke Solok. Kemudian Natsir diajak Kakaknya kembali tinggal di Padang hingga menyelesaikan MULO[2]. Setelah itu Natsir merantau ke Bandung Jawa Barat guna meneruskan sekolahnya ke AMS. Di Bandung inilah Nastir berkenalan dengan Ustadz A. Hassan yang kemudian menjadi gurunya.
Tamat AMS tahun 1930 dengan nilai baik, Natsir berhak mendapatkan beasiswa ke Fakultas Hukum Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rótterdam Belanda. Namun Natsir memutuskan tidak mengambil keduanya. Ia malah menjadi redaktur majalah Pembela Islam dan kemudian mendirikan sekolah bernama Pendidikan Islam (Pendis). Sepuluh tahun (1932-1942) Natsir berjuang mengelola Pendis hingga dapat membuka sekolah hingga tingkat MULO. Namun akhirnya Jepang datang dan menutup semua sekolah partikelir, termasuk Pendis.
Di masa pendudukan Jepang, Natsir menjabat Biro Pengajaran Kota Bandung. Selain itu ia juga memimpin sebuah perkumpulan bernama Majlis Islam, tempat berkoordinasinya para guru, khatib dan ulama di wilayah Kotapraja Bandung. Ketika Jepang membentuk Masyumi -sebuah perkumpulan yang dibentuk Jepang untuk berhubungan dengan ummat Islam- Natsir ikut menjadi pengurusnya. Tahun 1945 Jepang mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di Sekolah Tinggi pertama di Indonesia itu Natsir menjadi sekretarisnya. Ketika menjadi sekretaris STI ini Natsir kerap bolak balik Bandung – Jakarta. Iapun mulai banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan semacam Prawoto Mangkusasmito, Kahar Muzakkir dan tentu Mohammad Hatta.
Ketika peristiwa kemerdekaan terjadi, Natsir berada di Bandung. Pasca kemerdekaan, Natsir menduduki beberapa jabatan penting, yaitu: Anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946), Menteri Penerangan (1946-1949), Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958), Perdana Menteri Republik Indonesia (1950-1951), Anggota Parlemen Republik Indonesia (1950-1958), dan Anggota Konstituante Republik Indonesia (1956-1958).
Setelah konstituante dibubarkan oleh presiden Soekarno dengan dekrit tanggal 5 Juli 1959, keadaan negara semakin kacau. Soekarno makin dekat dengan PKI dan makin otoriter. Menghadapi suasana seperti itu, Mohammad Natsir dan partainya tetap memberikan masukan dan nasihat untuk pemerintah. Akhirnya karena sikap kritisnya itu, pada tahun 1960 Natsir dipenjarakan oleh Soekarno. Ia bebas dua tahun kemudian.
Setelah pemerintahan Soekarno tumbang, Natsir dan kawan-kawan seperjuangannya berusaha membangun kembali Mayumi yang sebelumnya dibubarkan Soekarno. Namun usahanya itu tidak berhasil karena dihalangi Soeharto. Kemudian Natsir bersama alim ulama lainnya mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pada tanggal 26 Februaari 1967 sebagai alat perjuangannya yang baru. Dewan Da’wah sendiri adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang dakwah. Natsir menjadi ketuanya hingga meninggal dunia pada tanggal 6 Pebruari 1993, dalam usia 84 Tahun.
b. Pendidikan menurut Muhammad Nasir
1. Urgensi Pendidikan
Menurut Mohammad Natsir, di dalam Islam pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Pandangan ini terlihat misalnya dari tulisan Natsir ketika membantah buku yang ditulis Dr. I.J. Brugmans yang berjudul Geschiedenis van het Onderwijs in Ned.Indie (Sejarah Pendidikan di Hindia Belanda) yang mengatakan bahwa Islam adalah agama penaklukan yang disebarkan dengan pedang.
Untuk menangkis kesimpulan itu, Natsir mengemukakan bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama Tarbiyah atau agama pendidikan yang diajarkan oleh Tuhan kepada hambaNya. Salah satu dari sifatNya adalah Rabb yang artinya Maha Mendidik atau Maha Mengatur sekalian alam. Kata tarbiyah ini menurut Natsir mencakup masalah-masalah yang duniawi maupun ukhrawi, rohani maupun jasmani, intelektual maupun etika budi pekerti, formal maupun non-formal, dan ditujukan terhadap diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Karena Tarbiyah adalah proses yang tidak pernah berhenti maka menuntut ilmu, mendidik dan mendapatkan pendidikan adalah kewajiban sepanjang umur.
Menurut Natsir, maju mundurnya satu bangsa sangat ditentukan oleh sejauh mana perhatian bangsa tersebut dalam bidang pendidikan. Maka dalam pandangan Natsir pendidikan adalah masalah yang paling penting di tengah-tengah masyarakat, ia menulis, "Masalah pendidikan ini adalah masalah masyarakat, masalah kemajuan yang sangat penting sekali, lebih penting dari masalah yang lainnya".
Untuk membuktikan pendapatnya ini, Natsir memberikan dua contoh yang berlawanan. Satu negara yang maju karena memperhatikan masalah pendidikan bangsanya, satu lagi adalah negara yang tidak memperhatikan masalah pendidikan, sehingga menjadi negara tertinggal. Negara itu adalah Jepang dan Spanyol. Mengenai Jepang ia menulis, ” Bangsa Jepang, satu bangsa di Timur yang sekarang jadi buah mulut orang seluruh dunia lantaran majunya, masih akan tinggal terus dalam kegelapan sekiranya mereka tidak mengatur pendidikan bangsa mereka”. Sementara mengenai Spanyol Natsir menulis, ”Sepanyol, satu negeri di benua Barat, yang selama ini masuk golongan bangsa kelas satu, jatuh merosot ke kelas bawah, sesudah enak dalam kesenangan mereka dan tidak mempedulikan pendidikan pemuda-pemuda yang akan mengantian pujangga-pujangga bangsa di hari kelak”.
Kemudian Natsir juga menjelaskan lebih jauh kenapa pendidikan menjadi satu hal yang sangat penting dalam menentukan maju dan tidaknya satu bangsa. Menurutnya, kemunduran dan kemajuan satu bangsa tidak tergantung pada letak bangsa itu yang di timur atau di barat. Tidak juga tergatung kepada warna kulit bangsa itu. Yang menentukan adalah ada atau tidaknya sifat-sifat dan bibit-bibit kesanggupan yang menjadikan mereka layak atau tidak menjadi bangsa maju dan menduduki tempat yang mulia di dunia ini. Lalu darimanakah datangnya sifat-sifat dan bibit-bibit kesanggupan itu? Natsir menjawab, ”bergantung kepada didikan ruhani dan jasmani yang mereka terima untuk mencapai yang demikian.
Adapun mengenai pengertian pendidikan, Natsir menjelaskan:
Yang dinamakan didikan ialah suatu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Pimpinan semacam ini sekurangnya antara lain perlu kepada dua perkara: a. Satu tujuan yang tertentu tempat mengarahkan didikan. b. Satu asas tempat mendasarkannya
Karena itulah landasan dan tujuan pendidikan adalah dua hal yang sangat diperhatikan oleh Natsir.

2. Landasan Pendidikan.
Mohammad Natsir memandang bahwa yang harus menjadi landasan pendidikan adalah tauhid. Ini misalnya terlihat pada pidato Natsir dalam rapat Persatuan Islam di Bogor pada tanggal 17 Juni 1934 dengan judul ”Ideologi Didikan Islam”. Juga terlihat dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada tahun 1937 dengan judul ”Tauhid Sebagai Dasar Didikan”. Menurut Mochtar Naim, dalam dua tulisan itu dengan gamblang Natsir menggariskan bahwa ideologi pendidikan ummat Islam harus bertitik-tolak dari dan berorientasi kepada Tauhid.
Menurut Natsir, jika tauhid dijadikan landasan pendidikan ummat Islam maka pendidikan akan membentuk anak didik menjadi:
a. Memiliki kepribadian yang tangguh.
b. Berani mengarungi berbagai kesulitan hidup, bahaya, tipu daya dan bahkan malapetaka.
c. Berani mati demi tegaknya kebenaran dan perintah ilahi.
d. Membentuk keikhlasan, kejujuran dan keberanian serta rasa tanggung jawab untuk melaksanakan suatu tugas atau kewajiban yang diyakini kebenarannya.
Dengan kepribadian seperti diatas, maka seorang anak didik akan menjadi pribadi yang tangguh dalam melaksanakan tugas kemanusiaannya sebagai hamba Allah maupun sebagai mahluk sosial. Maka menurut Natsir tauhid sesungguhnya adalah landasan bagi seluruh aspek kehidupan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah swt.
Oleh karena itu menurut Natsir Tauhid harus diajarkan kepada anak sedini mungkin. Ia mencontohkan bagaimana di dalam al-Qur`an Allah swt menceritakan kisah Lukman al-Hakim yang mengajarkan anaknya mengenai Tauhid. Kemudian ketika Tauhid itu sudah menancap dalam hati seorang anak, maka ia akan menjadi orang yang hanya menghambakan dirinya kepada Allah swt. Inilah yang tercermin dalam pribadi Ismail as. Ia merelakan nyawanya demi memenuhi perintah Allah swt melalui mimpi yang diterima ayahnya Ibrahim as.

3. Tujuan Pendidikan
Bagi Mohammad Natsir, tujuan pendidikan sangat erat kaitannya dengan landasan pendidikan. Tujuan pendidikan itu harus sesuai dengan tujuan hidup manusia. Menurut Natsir, tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup. Adapun tujuan hidup menurutnya adalah menjadi hamba Allah. Menjadi hamba Allah ini bukanlah perkara yang mudah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang hamba agar menjadi hamba Allah. Pertama hamba Allah itu harus memiliki ilmu.
Maka menurut Natsir, seorag hamba Allah bukanlah orang yang mengasingkan diri ke hutan belantara kemudian disana ia sibuk shalat dan shaum saja. Seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah dan dijadkan sebagai pemimpin manusia. Mereka manuruti perintah Allah, berbuat baik kepada sesama mahluk dan beribadah kepada Tuhannya
4. Karakter Pendidikan Islam
Menurut Mohammad Natsir, pendidikan yang harus diberikan kepada anak didik adalah pendidikan yang memiliki sifat integral dan universal. Universal artinya pendidikan itu tidak terkait dengan Barat atau Timur. Karena bagi Natsir Barat dan Timur adalah sama, dua-duanya makhluk Allah yang bersifat baru (huduts). Pendapatnya ini didasarkan kepada karakter Islam yang tidak mengantagoniskan antara Barat dan Timur. Menurut Natsir Islam hanya mengantagoniskan antara hak dan bathil. Sehingga apa yang datang dari Timur jika itu bathil maka harus disingkirkan dan apa yang datang dari Barat jika itu hak maka harus diterima.
Sementara integral artinya pendidikan itu tidak mengenal pemisahan antara jasmani dan ruhani, maupun dunia dan akhirat. Sehingga pendidikan Islam itu mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dalam menghambakan diri kepada Allah swt dan dalam rangka membina hari esok yang lebih baik, di dunia maupun di akhirat. Mohammad Nasir sebagimaan juga kita, dihadapkan pada permasalahan dikotomi ilmu, antara ilmu umum dan ilmu agama. Menghadapi hal ini Natsir mencoba menjembataninya dengan mengisi kekurangan yang satu dengan kelebihan yang lain. Jadi sistem pendidikan yang bersifat universal, integral dan harmonis ini tidak lagi mengenal dikotomi antara pendidikan umum dan agama. Semua dasarnya adalah agama, apapun bidang dan disiplin ilmu yang dimasuki.
Pikiran Natsir diatas muncul setelah ia melihat kenyataan di lapangan pada masanya, bahwa praktik pendidikan yang dihadapi ummat, satu sama lain saling menegasikan dan bersebrangan. Di datu sisi, pendidikan klasikal ala Belanda yang baru diperkenalkan kepada masyarakat muslim Indonesia pada akhir abad 19 dan awal abad 20, terutama melalui kebijakan Politik Etis Belanda, sama sekali tidak mengajarkan dan menyentuh aspek-aspek agama. Sekularisme begitu jelas membayang-bayangi sistem pendidikan baru ini. Sementara di sisi lain, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli Indonesia bersikap antipati terhadap semua yang berbau Belanda. Sikap ini mudah untuk doifahami, mengingat sepanjang abad 19, pihak Pesantren dengan penuh semangat jihad fi sabilillah mengerakan berbagai elemen ummat dan masyarakat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Oleh sebab itu apapun yang berbau Belanda dianggap buruk, termasuk sistem pendidikan yang ditawarkannya.
Adapun kelebihan Natsir dalam menghadapi keadaan seperti itu adalah bahwa ia mengenal dengan baik kedua sisi prakik pendidikan yang dihadapi ummat saat itu. Ketika kecil ia akrab dengan pendidikan model pesantren yang berupa pendidikan di Surau. Di waktu yang sama Natsir juga akrab dengan sistem pendidikan ala Belanda karena ia bersekolah di sekolah Belanda. Begitupun ketika Natsir menginjak dewasa. Dengan bersekolah di AMS, ia menjadi sangat hafal dengan sistem pendidikan Belanda. Sementara di saat yang sama, dengan mengaji kepada A. Hassan Natsir menjadi lebih akrab dengan sistem pendidikan Islam ala Pesantren. Latar belakang seperti itulah yang membuat Natsir memahami kedua model pendidikan itu. Sehingga kemudian munculah ide integralistik pendidikan. Bahkan kemudian Natsir mencoba menerapkan idenya itu di Pendis dan Pesantren Persis.

5. Tentang Pendidik.
Mohammad Natsir sangat memperhatikan masalah pendidik. Menurutnya anak-anak adalah amanah yang diberikan Allah swt kepada orangtua. Tugas orangtua adalah mendidik anak itu, karena sebagaimana yang dijelaskan rasulullah saw dalam satu haditsnya, setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Dan orantuanyalah yang menentukan akan menjadi apa anaknya itu kelak, yahudikah, nasranikah atau majusikah. Kemudian Natsir menjelasakan bahwa kewajiban mendidik anak bukan hanya kewajiban yang sifatnya fardu ’ain bagi setiap orang tua, tapi juga fardu kifayah bagi segolongan dari ummat Islam ini. Artinya, ”Kaum muslimin wajib mengadakan dari antara kaum kita juga, satu golongan yang akan mendidik anak-anak kita, supaya didikan anak-anak itu jangan diserahkan kepada mereka yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman dan tidak seagama dengan kita”[33].


DAFTAR PUSTAKA

1. http://nurulfikri.sch.id/index.php?option=com_content&view=article&id=54:pokok-pokok-pemikiran-pendidikan-alm-muhammad-natsir-dalam-memajukan-pendidikan-bangsa-dan-negara&catid=52:taujih&Itemid=131
2. http://dwisri.multiply.com/journal/item/6
3. http://amazingfilsafat.blogspot.com/2007/04/filsafat-pendidikan-al-farabi.html
4. http://www.averroes.or.id/thought/al-farabi-menguasai-hampir-setiap-subyek-yang-dipelajari.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar